Untuk kali ini saya ingin menulis sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, sesuatu yang menjadi tujuan hidup manusia. Anda mungkin berkilah bahwa tujuan hidup Anda adalah mengabdi dan beribadah pada Tuhan YME (jika Anda relijius), atau tujuan Anda untuk membahagiakan orang terkasih (jika Anda orang yang sayang keluarga), atau untuk memajukan masyarakat (jika Anda seorang aktivis). Namun, pada hakikatnya jika saya bisa lihat motivasi di baliknya juga adalah agar Anda bahagia, karena dengan mencapai semua itu Anda bisa berlega hati, atau berbangga hati. Itu juga kebahagiaan, bukan?
Pandemi Covid-19 tahun 2020 ini menjadi momen penting bagi kita semua agar meletakkan semua target dahulu dan membenahi kehidupan dan kesehatan kita, yang ujungnya juga adalah kebahagiaan kita. Kita dipaksa untuk menyendiri di rumah, banyak merenung di dalam ruangan, seperti pertapa.
Tapi seperti pada Idulfitri 2020 lalu, pada akhir tahun ini liburan Natal dan tahun baru 2021 menjadi momen yang dimanfaatkan orang untuk mencoba mendobrak batasan dan imbauan tak bepergian dari pemerintah. Masyarakat seperti marah karena merasa dipermainkan pemerintah karena liburan akhir tahun ini dijanjikan akan lebih panjang daripada Idulfitri lalu yang sudah dibatalkan gara-gara Covid-19 dan sekarang janji manis itu masih belum terwujud juga. Mereka harus menelan pil pahit bahwa Covid-19 belum reda dan bahkan ada kemungkinan mencapai puncak kedua atau ketiga sampai vaksin benar-benar disebar merata di seluruh dunia.
Beberapa sahabat dan teman memang sudah ada yang bepergian untuk berlibur. Mereka mau berpayah-payah tes PCR, pokoknya bisa melepas diri dari kungkungan rumah yang juga sudah menjadi kantor dan sekolah bagi anak mereka.
Saya sendiri memilih tetap di rumah karena ya... memikirkan soal konsekuensi jika mesti berkerumun di tempat-tempat transportasi umum seperti bandara atau stasiun kereta. Karena konon tes PCR juga mesti mengantre dan membuat potensi tertular malah makin tinggi karena banyak orang memburu hasil tes ini supaya bisa lepas dari pasungan.
Kembali ke masalah kebahagiaan manusia, apakah liburan adalah sumber kebahagiaan sejati?
Di tahun 1943, psikolog Amerika Abraham Maslow mengajukan sebuah teori tentang kebahagiaan. Ia berkata bahwa manusia tanpa kecuali mencari pemuasan kebutuhannya yang bisa dideskripsikan dalam bentuk piramida. Di level terbawah, ada kebutuhan dasar seperti makanan, tidur dan seks.
Di lapisan berikut ada keamanan dan rasa terlindungi, cinta dan rasa memiliki, harga diri dan akhirnya di level teratas ada aktualisasi pribadi, yang jika kita miliki akan memberikan sebuah kebahagiaan yang paripurna.
Sebuah studi tahun 2011 mencoba membuktikan keabsahan teori Maslow itu dengan mensurvei subjek di 123 negara di dunia. Sehingga hasil penelitian ini bisa dikatakan mendekati akurat karena mewakili umat manusia di beragam kebudayaan dan daerah di dunia.
Hasilnya menyatakan bahwa pemenuhan berbagai kebutuhan tadi memang benar adanya di seluruh dunia. Namun, yang patut dicamkan ialah ternyata ada manusia yang masih bisa merasakan kebahagiaan dan kepuasan hidup meskipun kebutuhan-kebutuhan dasar mereka ada yang belum terpenuhi maksimal.
Bagi manusia, pemenuhan kebutuhan dasar seperti ada penghasilan, makanan atau rumah berkaitan erat dengan perasaan bahwa hidupnya positif dan bermanfaat.
Sementara itu, pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi seperti dukungan sosial, respek, kemandirian dan keahlian berkaitan erat dengan kenikmatan hidup. Artinya ia bisa memiliki lebih banyak perasaan positif dan mengurangi perasaan negatif.
Hanya saja ada anomali juga. Ada sebagian manusia yang merasa hidupnya sudah bahagia meski papan tak punya, jabatan tidak ada (respek), atau penghasilan tak seberapa. Sebagai gantinya, mereka ini merasa hubungan sosialnya yang kaya dan positif membuat bahagia. Dan mereka juga sanggup memenuhi aktualisasi diri dengan cara-cara yang sesuai aspirasi masing-masing.
Inilah yang membuat kita memikirkan ulang teori kebahagiaan Maslow itu. Ternyata, kepuasan dan kebahagiaan hidup tidak cuma terpengaruh oleh mutu kehidupan orang-orang di sekitarnya tetapi juga mengenai bagaimana manusia itu sendiri membangunnya.
Kelompok anomali ini adalah mereka yang sanggup hidup di tengah masyarakat namun tidak larut dalam perlombaan semu dalam pencapaian-pencapaian sementara dan tak banyak bermakna.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah merasa bahagia dengan apa yang kita capai di tahun 2020 ini? Atau kita merasa masih kurang dan kurang?
Saatnya duduk dan berkontemplasi di akhir tahun 2020 yang legendaris ini untuk menemukan jawabannya sendiri. Sebab tidak ada yang bisa membantu menjawabnya kecuali diri kita sendiri. (*/akhlis)
No comments:
Post a Comment
Tell me what you think, folks!